Rabu, 29 Februari 2012

Zaman Neolitikum


Zaman Neolitikum


Perubahan mendasar terjadi pada awal tahapan ini. Pada masa ini manusia yang sebelumnya sekedar pengumpul makanan, mulai menjadi penghasil makanan dengan melakukan bertani dan berternak. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah (nomaden), tetapi relative telah menetap dan tinggal di perkampungan kecil.
1. Dalam masa ini orang sudah menggosok alat-alat yang terbuat dari batu hingga halus.
2. membuat rumah-rumah yang ditempati secara permanen
3. Rumah-rumah tersebut didirikan secara bergerombol sehingga menyerupai kampung. 

Alat batu yang ada.
1. Beliung persegi ialah suatu alat yang dibuat dari batu kalisedon atau agat yang atasnya (bidang distal) melengkung, sedang bidang bawahnya (bidang proximal) sedikit melengkung. Bangian pangkal biasanya lebih kecil daripada bagian ujungnya. Bagian pangkal ini tidak digosok. Bagian ujungnya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah hanya pada sisi bawah (pada bidang proximal saja). Beliung tersebut digosok hingga halus dan mengkilat.
Cara menggunakan ialah diikat pada setangkai kayu. Cara mengikatnya ialah melintang (sama seperti cangkul).
Kegunaan Beliung persegi ini digunakan untuk melubangi kayu atau kalau yang berukuran kecil digunakan untuk membuat ukiran. 
2. Belincung berbentuk seperti beliung, akan tetapi bidang distalnya melengkung dan menyudut. Bidang penampangnya berbentuk segi lima. 
Kegunaan Belicung Alat ini kemungkinan dipergunakan untuk membuat perahu (dari sebatang pohon).
3. kapak, yang bidang distal dan bidang proximalnya mempunyai bentuk yang sama. Tajaman diasah dari kedua sisi. Cara menggunakannya ialah diikat pada sebatang kayu dengan posisi membujur (seperti tamahawk suku Indian Amerika).
4. Gelang-gelang. Dari batu jenis agat dan jaspis (berwarna hijau kekuning-kuningan) dibuat pula gelang-gelang. Gelang-gelang ini digosok halus dan sering digunakan sebagai bekal kubur. Sudah dapat dipastikan gelang ini berfungsi juga sebagai perhiasan badan. Ada gelang kecil diameternya yang mungkin digunakan bagi anak kecil atau bayi. Cara pembuatannya: Mula-mula batu agat dibentuk dengan cara memukul-mukul dengan batu lain sehingga berbentuk diskus (bulat pipih). Kemudian bagian bawah (salah satu sisi) digosok hingga rata. Sisi yang lain dibor dengan sebatang bambu. Pada permukaan bambu itu diberi pasir dan mungkin air, supaya batu lebih cepat terkikis. Mengebor memerlukan waktu lama. Setelah batu berlubang lalu dilanjutkan dengan menggosok atau menghaluskan lubangnya dengan alat yang terbuat dari fosil tanduk kambung hutan. Sisi luarnya pun digosok hingga halus.
5. Tembikar (Periuk belanga)

Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar.
Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.


Daerah penemuan.
1. Kapak, beliung, belincung banyak ditemukan di daerah Bekasi (Buni) Jawa Barat, sedangkan gelang-gelang dari batu agat banyak ditemukan di daerah Purwakarta. Di daerah Purbalingga diketahui terdapat perbengkelan pembuatan gelang dari batu jaspis. Selain itu ditemukan pula semacam kapak yang besar, besarnya hampir seperti cangkul sekarang. Alat tersebut memang digunakan mencangkul tanah. Di Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Irian Jaya ditemukan kapak-kapak yang berpenampang lonjong (bulat telor). Bagian tajamnya melebar sedangkan pangkalnya runcing. Kapak semacam ini masih ditemukan dibuat di Iraian Jaya. Pada umumnya batu yang digunakan ialah batu hitam kehijauan. Kapak semacam ini dikenal di Jepang dan Filipina dan mungkin sekali kemudian menyebar ke Irian Jaya lewat Sulawesi dan Maluku. Anehnya, kapak lonjong ini tidak ditemukan di Indonesia bagian barat. Hal ini membuktikan bahwa antara Filipina dan Sulawesi terdapat hubungan kebudayaan pada masa Neolithicum. Dalam masa ini nampaknya sudah ada spesialisasi dalam masyarakat. Misalnya ada sebagian masyarakat yang hanya membuat beliung atau belincung secara kasar kemudian dibawa ke tempat lain untuk dihaluskan oleh orang lain. Tempat-tempat dimana kita mendapati berbagai macam kapak dan beling (belincung) yang masih kasar dinamakan atelier. Atelier ditemukan di Punung, Jawa Timur dan di Pasir Kuda (Jawa Barat).

Masa Bercocok Tanam (Jaman Neolitikum)

Kapak-kapak atau beliung yang belum jadi disebut Planche. Peninggalan lain yang banyak terdapat dari masa neolithicum ialah tembikar. Pembuatan tembikar dapat diketahui dengan metode pembakaran terbuka. Cara membentuk tanah liat tidak menggunakan roda pemutar, jadi hanya dibentuk dengan tangan saja. Akibatnya jika membuat bentuk periuk misalnya, terdapat bagian-bagian yang tebalnya tidak rata. Karena sistem pembakarannya adalah sistem terbuka, akibatnya suhu yang ditimbulkan adalah suhu rendah. Oleh karena itu tembikar masa Neolithicum ini sangat poreous (berpori). tembikar yang berukuran besar dibuat dengan membuat pilinan tanah liat yang panjang, kemudian dilingkarkan satu di atas yang lain. Untuk menghaluskan dipakai sebuah batu halus yang dipegang tangan kiri dan ditaruh di dinding sebelah dalam. Dari sebelah luar dipukul-pukul dengan kayu yang ujungnya melebar (tetap). Cara ini sering dipakai untuk membuat tempayan, periuk besar, pasu, dan lain-lain. Untuk membuat hiasan pada tembikar, sering kita jumpai permukaan tatap itu diukir. Akibatnya akan terdapat bekas-bekas pada permukaan periuk hiasan. Hiasan tersebut adalah dicap (impressed), berbeda dengan hiasan lain yang digores (incised). Dengan menggunakan sebatang lidi atau bambu, permukaan gerabah yang belum di bakar digores digambari (biasanya dengan pola geometris), baru kemudian dibakar. Tembikar atau gerabah banyak ditemukan sebagai bekal kubur. 
Nampaknya masyarakat pada masa itu sudah memasak makanannya dengan tembikar ini, sebab ada yang ditemukan bagian bawahnya hitam bekas api. Pada masa Neolithicum sudah dikenal pula pertenunan. Hal ini diketahui dari ditemukannya pecahan tembikar dengan cap tenunan pada permukaannya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu dibuat dan masih basah benda tembikar itu diletakkan di atas bahan tenunan. Bahan tenunan yang diketahui ialah tenun bogor, yang benangnya dibuat dari daun gebang. daun gebang disayat halus-halus, sehingga dpat dipakai sebagai benang tenun. Tenunan semacam ini masih terdapat di daerah Yogyakarta. Pada umumnya sekarang hasilnya dipakai sebagai bungkus barang dagangan. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, pada masa Neolithicum budaya manusia telah maju dengan pesat. Berbagai macam pengetahuan telah dikuasai, misalnya pengetahuan tentang perbintangan, pranatamangsa (cara menentukan musim berdasarkan perbintangan atau tanda-tanda lainnya), pelayaran, kalender (menentukan hari baik atau buruk) gamelan, wayang, pertenunan, dan sebagainya. Masih banyak unsur-unsur kebudayaan Neolith itu yang masih hidup hingga sekarang. Salah satu diantaranya ialah pertenunan dengan menggunakan tenun gendong. Unsur-unsur lainnya yang dapat disebutkan dan masih hidup hingga sekarang misalnya gamelan, wayang, pranata mangsa, pelayaran, kalender, dan sebagainya. Yang dapat diungkapkan ialah adanya kepercayaan manusia terhadap hidup sesudah mati. 
Berdasarkan penggalian-penggalian dimana kerangka manusia ditemukan, dapat diketahui bahwa hampir semua kerangka manusia tidak memiliki telak kaki. Rupanya waktu sebelum dikubur, telapak kaki itu dipotong dengan harapan supaya kerangka itu tidak dapat tegak berdiri lagi. tengkorak (kepala) si mati dihadapkan ke suatu gunung di dekat kuburan itu. Hal ini menunjukkan bahwa gunung dianggap sebagai tempat penting para roh. Biasanya kerangka itu dikubur membujur timur-barat atau tergantung kepada letak gunung yang di anggap keramat sekitar tempat itu. Hal ini berbeda dengan kerangka-kerangka yang ditemukan dalam pemakaman Islam yang membujur utara-selatan dengan tengkorak menghadap ke kiblat (Barat). Selain penguburan langsung atau disebut juga penguburan primer dimana mayat dikubur langsung ke dalam tanah atau dimasukkan ke dalam tempayan secara utuh, ada pula sistem penguburan yang disebut cara penguburan sekunder, yaitu setelah mayat dikubur beberapa lama (atau diletakkan si sebuah padang) lalu tulang belulangnya dipilih dan dengan upacara besar-besaran dikuburkan. Ada pula suatu adat dimana tulang belulang manusia dimasukkan kedalam tempayan lalau di kubur, sebagai mana terlihat dalam penggalian di Mololo (Sumba Timur) Merak (Jawa Barat), Gilimanuk (Bali). Adat semacam ini
Menurut ilmu arkeologi salah satu pembagian zaman yang terjadi pada zaman prasejarah adalah zaman Neolitikum. Zaman ini dikatakan jauh lebih baik dari zaman sebelumnya yaitu zaman Paleolitikum, hal ini bisa dikatakan lebih baik karena hasil peralatan yang ditemukan pada zaman ini lebih maju. Zaman Neolitikum menghasilkan beberapa kebudayaan yang salah satunya adalah kebudayaan kapak lonjong. Kapak lonjong ini dikatakan jauh lebih maju apabila dibandingkan dengan kebudayaan zaman Paleolitikum, yaitu kebudayaan kapak genggam dan kapak perimbas.
Tradisi kapak lonjong dapat diduga lebih tua daripada tradisi beliung persegi. Bukti-bukti stratigrafis telah ditunjukkan oleh T. Harrison dalam ekskavasi yang dilakukan di Gua Niah, Serawak, dan menurut pertanggalan C-I4 yang diperolehnya, kapak lonjong ditemukan dalam lapisan tanah yang berumur ± 8.000 SM.
Kapak ini bentuk umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Di sinilah bedanya dengan beliung persegi yang tidak pernah memiliki tajaman simetris (setangkup). Bentuk penampang lintangnya seperti lensa, lonjong, atau kebulat-bulatan.

Bahan dan Pembuatannya
 Perkembanga pembuatan alat-alat terus mengalami perubahan dari satu zaman ke zaman berikutnya, tidak terkeculai bahan baku yang digunakan untuk menggunakan alat-alat tersebut. Pada zaman prasejarah bahan-bahan yang dipakai untuk membuat kapak lonjong pada umumnya batu kali yang berwarna kehitaman, seperti kapak-kapak batu yang sampai sekarang masih digunakan di Papua. Bahan yang terdapat di kali atau dari batu kali ini cukup memudahkan mereka untuk mengembangkan peralatan kapak lonjong, sebab bahan-bahannya sudah ada di lingkungan tempat mereka tinggal dan tidak perlu terlalu kerja keras untuk mendapatkan bahan tersebut. Kapak juga dibuat dari jenis nefrit berwarna hijau tua. Calon kapak atau bahan baku yang diperoleh melalui penyerpihan segumpal batu atau langsung dari kerakal yang sudah sesuai bentuknya, diupam halus setelah permukaan batu diratakan dengan teknik pukulan beruntun. Selain menghasilkan kapak lonjong yang berukuran besar atau kapak lonjong untuk pekakas, mereka juga ternyata menghasilkan kapak lonjong kecil berukuran kecil yang diperkirakan berguna sebagai benda wasiat atau benda pusaka yang mengandung unsur magis. Kapak yang berukuran kecil ini tidak digunakan sebagai pekakas atau senjata.
Pemasangan Tangkai
Apabila pada zaman Paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain, lain halnya dengan zaman Neolitikum. Mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal. 
Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.

Persebaran di Indonesia 
Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia, hanya terbatas di daerah bagian timur, yaitu Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Leh, Tanimbar, dan Papua. Di Serawak, yaitu di Gua Niah, kapak lonjong juga ditemukan. Dari tempat-tempat yang disebutkan itu, hanya sedikit yang diperoleh dari penggalian arkeologi, kecuali dari Serawak dan Kalumpang di Sulawesi Tengah. Suatu hal yang agak menyulitkan tentang penelitian kepurbakalaan kapak lonjong ini adalah karena alat semacam ini masih dibuat di pedalaman Pulau Papua. Tidaklah mustahil temuan-temuan lepas di beberapa tempat di bagian timur Indonesia itu adalah hasil pengaruh dari Papua yang mencapai tempat-tempat tersebut pada waktu yang tidak begitu tua.
Harus pula kita ingat bahwa dugaan-dugaan mengenai kapak lonjong itu dapat bermacam-macam serta berbeda sebelum pembuktian ekskavasi arkeologis di beberapa tempat seperti di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua ditingkatkan.

Persebaran di luar Indonesia 
Di luar Indonesia, kapak lonjong ditemukan tersebar luas meliputi Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan juga di India. Di India unsur kapak lonjong ini sering dihubungkan dengan orang-orang Dravida sebagai pendukungnya. Di Kepulauan Mikronesia dan Melanesia kapak bulat juga ditemukan. Atas dasar tempat-tempat penemuan tersebut, agaknya jalan persebaran kapak lonjong itu dapat diikuti dan ternyata pernah melintasi bagian utara dan timur Kepulauan Indonesia dan seterusnya bertahan dengan kuat dalam waktu yang lama di Pulau Irian atau Papua.
Di Cina dan Jepang tradisi kapak lonjong berkembang pada masa bercocok tanam awal, sedangkan data pertanggalan dari Kafiavana (pedalaman Papua New Guinea) memberi petunjuk waktu sepuluh ribu tahun. Sampai saat ini Indonesia belum mendapatkan pertanggalan yang pasti tentang perkembangan tradisi kapak lonjong. Dari Gua Niah (Serawak) kita mendapatkan umur ± 3.000 tahun. Di bawah lapisan yang mengandung kapak lonjong di Niah, ditemukan lapisan yang diperkirakan mengandung alat-alat yang menunjukkan bentuk peralihan antara bentuk kapak Sumatra (Sumatralith) dan tradisi kapak lonjong.

Kehidupan
Penelitian arkeologi dan paleoantropologi sampai saat ini belum berbasil mengungkapkan kembali pendukung-pendukung tradisi kapak lonjong. Para pendukung kapak lonjong yang belum jelas ini juga mengenal cara pembuatan gerabah dengan teknik pilin serta hidup dari umbi-umbian, terutama keladi. Mereka sudah menjinakkan hewan-hewan, misalnya, babi, anjing, dan unggas. Jenis-jenis hewan ini dikirakan berasal dari Asia Tenggara. Jenis-jenis padi belum mereka kenal. Selain keladi, mungkin pula telah dikenal pohon rumbia atau Metroxilon yang menghasilkan sagu.

Kepustakaan
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harsrinuksmo, Bambang . 2004. Ensiklopedi Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I (Zaman Prasejarah di Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.
Soejono, R.P. (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan 

Kebudayaan
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.

Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu.
Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHICUM
Pada zaman neolithicum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
•Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.

•Kapak Persegi

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

•Kapak Lonjong

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua. 

•Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi ,hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.

•Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.

•Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.

•Tembikar (Periuk belanga)

Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar.
Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar